Di masa lalu, dogma atau doktrin negara dilakukan melalui
penataran-penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau
melalui mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Pelaksanaan penataran
P4 juga menjadi program wajib setiap siswa baru pada jenjang sekolah menengah
sampai perguruan tinggi.
Pada semua mata pelajaran, secara implisit termuat tujuan
pembelajaran yaitu adanya perubahan kognitif, sikap, dan perilaku pebelajar.
Kesemua kegiatan pembelajaran, khususnya untuk mata pelajaran yang terkait
langsung dengan pembangunan mental dan moral pebelajar, itu dimaksudkan sebagai
usaha untuk membentuk sikap warga negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya
bangsa, mempererat persatuan dan kesatuan, menciptakan kesadaran hidup
bernegara, dan membangun moral bangsa. Faktanya, setelah berlangsung
bertahun-tahun, “produk” penataran P4 itu tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Penyakit sosial dan penyakit masyarakat masih saja merebak. Sudah bukan lagi
disebut sebagai kenakalan remaja. Yang terlihat sekarang adalah perilaku tidak
jujur, korupsi, kolusi, nepotisme, suap, makelar kasus, bahkan tindakan
terorisme, hilangnya sikap kesabaran, pelanggaran norma masyarakat, merosotnya
disiplin berlalu-lintas di jalanan, memudarnya rasa malu, meredupnya sikap
saling menghargai, dan sebagainya.
Selain itu, yang juga tampak menonjol adalah rendahnya penghargaan
terhadap karya sendiri dan atau karya bangsa sendiri. Hal ini diindikasikan
dengan tindakan pembajakan produk yang melanggar hak cipta, perilaku mencontek
dalam ujian, dan bahkan sikap mengagung-agungkan gelar, telah melunturkan etos
belajar, sehingga terjadi pemalsuan ijazah. Apalagi ditambah dengan sikap konsumerisme
dan gempuran iklan produk konsumtif yang menyerbu setiap hari melalui berbagai
media, kian menunjukkan betapa kita telah kehilangan jati diri dan tidak
mempunyai karakter.
Dalam tataran ini, belajar atau sekolah dianggap bukan sebagai
kebutuhan, tetapi hanya merupakan wahana memburu status. Sekolah dipandang
bukan sebagai wahana sosialisasi dan membangun jiwa merdeka, tetapi dipandang
sebagai jembatan menuju “kemewahan”.
Dalam hemat penulis, pendidikan berbeda dengan indoktrinasi.
Pendidikan lebih bermuatan nilai-nilai kemanusiaan, sedangkan indoktrinasi
berkaitan dengan kepentingan politik. Pendidikan bukan untuk menciptakan
kemakmuran lahiriah, karena kemakmuran itu hanya merupakan dampak dari
pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar