Penemuan Penelitian tentang
Teori Elaborasi
Sebagai suatu model yang berusaha
mengintegrasikan strategi-strategi yang telah teruji sahih, seperti telah
didiskusikan sebelumnya, model elaborasi memerlukan bukti empirik untuk
memperkuat landasan teoritiknya. Kajian tentang hal ini diuraikan pada bagian
berikut.
Sampai kini, belum banyak penelitian yang dilakukan untuk menguji kesahihan
teori elaborasi sebagai strategi untuk mengorganisasi isi pembelajaran.
Hanclosky (1986) adalah orang
pertama yang melakukan
penelitian mengenai strategi ini dengan membandingkan sumbangan teori
elaborasi, advance organizer, dan
analisis tugas dalam belajar konsep dan prinsip. Salah satu dari
sejumlah hipotesis yang diuji adalah bahwa untuk belajar konsep dan prinsip
teori elaborasi lebih unggul, jika dibandingkan dengan advance organizer dan
analisis tugas. Hasil seperti ini diramalkan terjadi dalam pasca-tes. Hasil
yang serupa juga diramalkan terjadi dalam tes yang diadakan setelah lima minggu pasca-tes.
Hipotesis ini didukung oleh hasil penelitian uji coba, namun tidak demikian
halnya oleh penelitian akhir. Penelitian akhir menemukan hasil yang
bertentangan dengan penelitian uji coba. Untuk belajar konsep, kelompok yang
mendapat perlakuan analisis tugas lebih unggul (p<0,05), jika dibandingkan
dengan kelompok yang mendapat perlakuan advance organizer dan teori
elaborasi. Namun demikian hasil ini hanya terjadi berdasarkan analisis
pasca-tes, dan setelah 5 minggu pasca-tes perbedaan ini menjadi tidak
signifikan. Hasil yang berlawanan terjadi dalam belajar prinsip. Kelompok yang
mendapat perlakuan analisis tugas lebih
unggul (p<0,05), jika dibandingkan
dengan dengan kelompok yang mendapat perlakuan advance organizer dan
teori elaborasi, dalam tes yang dilaksanakan setelah 5 minggu pasca-tes. Dalam
pasca-tes, untuk belajar prinsip, kelompok yang mendapat perlakuan analisis
tugas lebih unggul terhadap kelompok yang mendapat perlakuan advance organizer.
Penelitian lain dilakukan oleh Degeng (1988). Dalam penelitiannya, Degeng
membandingkan model pengorga-nisasian pembelajaran elaborasi dengan bukuteks.
Dalam hal ini, isi bukuteks diorganisasi kembali mengikuti rambu-rambu model
elaborasi. Selanjutnya kedua model ini, organisasi isi berdasarkan bukuteks
asli dan organisasi isi berdasarkan model elaborasi, dibandingkan
pengaruhnya terhadap perolehan belajar informasi verbal, konsep, dan retensi.
Ditemukan bahwa pengorganisasian pembelajaran dengan menggunakan
model elaborasi secara signifikan lebih unggul dari pengorganisasian
pembelajaran dengan menggunakan urutan bukuteks, baik untuk belajar
informasi verbal maupun konsep. Lebih lanjut, juga ditemukan bahwa retensi
terhadap perolehan belajar informasi verbal dan konsep ternyata lebih banyak
dapat dipertahankan melalui pengorganisasian pembelajaran berdasarkan model
elaborasi daripada urutan bukuteks.
Degeng (1988) selanjutnya mendiskusikan mengapa teori elaborasi lebih unggul
dari organisasi bukuteks. Seperti telah dikemukakan dalam analisis landasan
teoritik, bahwa model elaborasi menggunakan urutan elaboratif, yang pola
dasarnya bergerak dari umum-ke-rinci. Komponen strategi ini berupaya untuk
menyediakan ideational scaffolding (Ausubel, 1968) atau anchoring
knowledge (Reigeluth dan Stein, 1983) bagi isi yang lebih rinci yang
dipelajari kemudian. Ini dilakukan dengan menampilkan sturktur konseptual (epitome)
pada awal keseluruhan peristiwa pembelajaran.Dengan menggunakan konsepsi memory
theorists (Quillian, 1968) epotome dapat berfungsi sebagai skemata bagi
asimilasi konsep-konsep atau informasi baru. Di sinilah sebenarnya letak
kekuatan utama model elaborasi. Penyajian epitome dapat bertindak sebagai unit
konseptual yang serupa dengan skemata.
Untuk belajar informasi verbal, seperti: fakta-fakta, nama-nama, epitome
dapat berfungsi sebagai konteks bagi informasi-informasi yang lebih rinci. Hal
ini juga sejalan dengan dengan konsepsi Ausubel (1968) bahwa untuk belajar
informasi baru diperlukan adanya struktur kognitif. Dalam model elaborasi,
epitome berperan sebagai skemata bagi informasi-informasi yang lebih rinci. Ini
juga yang mungkin menyebabkan mengapa model elaborasi lebih unggul dari
pengorganisasian dengan bukuteks.
Penampilan pensintesis secara bertahap dalam model elaborasi, secara
khusus dimaksudkan untuk mengaitkan
konsep-konsep yang dipelajari, dengan cara menunjukkan konteks suatu konsep
dengan konsep lain yang lebih luas. Dengan cara seperti ini, pemahaman suatu
konsep menjadi lebih dalam karena semua konsep dipelajari dalam konteksnya
dengan konsep lain yang terkait. Bila kaitan-kaitan antar konsep seperti ini
tidak sengaja dirancang dalam pembelajaran, maka siswa membutuhkan waktu khusus
untuk melakukannya sendiri sehingga pembelajaran menjadi tidak efisien.
Lebih jauh dari itu, mungkin tidak semua siswa akan mampu melakukan
kaitan-kaitan seperti itu. Dengan menyajikan pensistesis, masalah-masalah
seperti ini dapat diperkecil, bahkan mungkin dapat ditiadakan.
Penyajian epitome pada awal pembelajaran, dan pensistesis pada akhir
pembelajaran, dan disertai lagi dengan penyajian rangkuman secara bertahap amat
memperkokoh kehadiran model elaborasi sebagai cara untuk mengorganisasi isi
pembelajaran. Namun demikian, sejauh ini, strategi ini hanya tepat
mempreskripsikan pengorganisasian ranah kognitif.
Penelitian ketiga mengenai model elaborasi, tercatat dilakukan oleh Wedman
dan Smith (1989). Tujuan penelitian ini adalah menguji pengaruh
pembelajaran yang diorganisasi dengan hirarkhi belajar dan model
elaborasi pada hasil belajar mengingat dan menerapkan prinsip. Enam puluh
sembilan mahasiswa yang mengikuti matakuliah produksi media pendidikan
mempelajari satu dari dua versi teks pembelajaran yang berkaitan
dengan prinsip-prinsip fotografi. Satu versi diorganisasi dengan menggunakan
preskripsi hirarkhi belajar, dan yang kedua menggunakan preskripsi model
elaborasi. Ditemukan bahwa kedua kelompok tidak memperlihatkan perbedaan
yang signifikan secara statistik. Dikemukakan
juga oleh peneliti bahwa teks untuk versi hirarkhi belajar lebih
pendek dan membutuhkan waktu
lebih singkat untuk menyelesaikannya. Jadi, perlu
dipertanyakan tingkat efisiensi pembelajaran yang diorganisasi dengan
presksripsi model elaborasi.
Dari 3 penelitian di atas, yang ditujukan untuk menguji teori elaborasi,
belum dapat diambil kesimpulan apapun. Di samping, karena model elaborasi masih
pada tahap pengembangan awal ketika diteliti, penelitian-penelitian ini
memusatkan pada variabel yang berbeda. Hanclosky (1986) dan Wedman dan Smith
(1989) menggunakan acuan model elaborasi yang baru dikembangkan, yaitu tahun
1979, di mana ada beberapa komponen strategi yang belum diintegrasikan. Degeng
(1988) menggunakan acuan Reigeluth dan Stein (1986). Pada acuan ini, pengembangan
model elaborasi telah disertai dengan preskripsi yang lebih jelas mengenai
setiap komponen strategi yang dilibatkannya.
Reigeluth (1987) telah mengembangkan model teoritik elaborasi ke dalam
bentuk pembelajaran konkrit. Akan lebih mendasar apabila
penelitian-penelitian lanjutan mengenai model elaborasi, diacukan pada contoh
pengembangan yang telah dibuat oleh pencetus model ini. Kini, sumber-sumber
telah lebih banyak tersedia. Penelitian lanjutan amat diharapkan agar model
elaborasi benar-benar dapat dijadikan preskripsi bagaimana cara mengorganisasi
pembelajaran tingkat makro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar